Penulis : Ester Lince Napitupulu | Sabtu, 2 Februari 2013 | 17:16 WIB
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU
Sejumlah anak tunanetra di Yayasan Elsafan sedang menyelesaikan
pembuatan hiasan pintu dari bahan-bahan sisa tidak terpakai. Anak-anak
ini dijar untuk mandiri mengumpulkan dana guna mewujudkan pembelian toko
baju yang merupakan program kerjasama dengan Rumah Moral.
JAKARTA, KOMPAS.com -
Sisa kain beraneka warna yang sudah terpotong kecil terhampar di ruang
bersama Yayasan Elsafan yang merupakan lembaga pelayanan anak tunanetra
yang berlokasi tak jauh dari Rumah Susun Klender di kawasan Jakarta
Timur, Sabtu (2/2/2013).
Sejumlah perempuan dan laki-laki berusia
sekolah maupun dewasa dengan bersemangat mengikatkan kain yang terpotong
tersebut ke bekas kardus karton yang sudah dibentuk lingkaran
berdiameter sekitar 20 cm maupun berbentuk hati. "Ayo, ikat kainnya ke
lingkaran, seperti kamu mengikat tali sepatu," kata Vicky (23), seorang
pendamping, saat mengajari Andy Pratama (18), penyandang tunanetra dan
gangguan komunikasi.
Andy yang duduk di kelas IX di Yayasan
Elsafan yang menyediakan layanan sekolah dan asrama bagi penyandang
tunanetra berusaha keras untuk bisa mengikatkan potongan kain berwarna
merah marun supaya menutupi lingkaran kardus yang akan disulap jadi
hiasan pintu. Lebih dari satu jam, kerjaan Andy tak kunjung beres. Tak
ada seorang pun yang mengejek Andy yang kesulitan menyelesaikan
pekerjannya meskipun sudah dibimbing pendamping.
"Tidak apa-apa
kalau belum selesai. Andy kan nanti yang mau jaga toko untuk jualan
bajunya ya?," kata Melly Kiong, penggagas Rumah Moral, menguatkan
semangat Andy. Anak-anak tunanetra di Yayasan Elsafan tersebut sedang
berusaha mewujudkan pembuatan 1.000 item hiasan dinding yang dijual Rp
50.000 per buah kepada siapa saja yang berminat.
Yayasan Elsafan
dan Rumah Moral bekerjasama untuk membuat program toko baju bagi
anak-anak tunanetra yang butuh modal sekitar Rp 50 juta. Hingga pekan
lalu, penjualan hiasan dinding sudah menghasilkan lebih dari Rp 9 juta.
Tiap Rabu malam, anak-anak Elsafan mencicil pembuatan hiasan pintu
dari bahan-bahan sisa yang disediakan Rumah Moral. Pembuatan hiasan
dinding juga dilakukan saat jam sekolah pada Selasa dan Kamis saat
pelajaran keterampilan.
Anak-anak tunanetra yang bersekolah dan
tinggal di Yayasan Elsafan bertugas untuk mengikatkan potongan kain
hingga menutupi lingkaran dan bentuk hati. Selanjutnya, para pendamping
dan guru merapikan ikatan yang diselesaikan siswa sehingga siap disulap
menjadi hiasan dinding sederhana, ada juga yang bagian tengahnya diberi
hiasan gantung. "Kami sangat antusias untuk bisa mewujudkan toko baju
untuk anak-anak tunanetra. Kami yakin anak-anak bisa mewujudkannya,"
kata Ritson Manyonyo, Direktur Yayasan Elsafan, yang juga penyandang
tunanetra.
Mendorong anak-anak yang memiliki keterbatasan fisik,
mental, ekonomi, maupun kesehatan, untuk mau berjuang, memang menjadi
tujuan utama Rumah Moral. "Saya tidak mau datang memberikan ikan, tetapi
memberikan kailnya dan mengajari mereka memancing. Untuk itulah, mental
juang anak-anak harus ditumbuhkan," kata Melly, ibu rumah tangga yang
juga penulis buku-buku pendidikan keluarga.
Mental juang yang
dimaksud Melly, bukanlah memberikan uang atau barang begitu saja,
meskipun dibutuhkan anak-anak berkebutuhan khusus tersebut. Di SLB Dena
Upakara, Wonosobo, anak-anak tunarungu diajarkan untuk memanfaatkan
limbah garmen menjadi masker penutup mulut. Kemudian, masker buatan
anak-anak tunarungu tersebut dijual sehingga terkumpul Rp 50 juta untuk
mendirikan salon.
Salon Dena Upakara yang diresmikan November
tahun lalu menjadi tempat kerja sejumlah anak-anak tunarungu. Semangat
juang yang diajarkan lewat program lifeskills yang dibawa Rumah
Moral membuat anak-anak tunarungu ini yakin bahwa mereka mampu mandiri,
meskipun perusahaan di Indonesia masih terbatas menerima tenaga kerja
dari kalangan orang-orang berkebutuhan khusus.
Sementara itu, anak-anak penyandang sindroma down yang tergabung dalam Ikatan Sindorma Down Indonesia (ISDI) di bawah pimpinan Yanti Yacob, berjuang mewujudkan Center of Hope. Bekerjasama dengan Rumah Moral, anak-anak yang memiliki keterbatasan ini membuat tempelan kulkas dari limbah kayu.
"Anak-anak ini punya bakat melukis yang baik, sayang kalau tidak dimanfaatkan. Lukisan anak-anak sindroma down
yang atraktif itu didesain kembali untuk bisa ditempelkan di bekas
limbah kayu berukuran 4x6 cm dan tinggal diberi magnet. Anak-anak ini
akan membuat dua juta tempelan kulkas," tutur Melly.
Semangat anak-anak sindroma down di ISDI pun tak surut untuk mengumpulkan dana sekitar Rp 2 miliar untuk membiayai pembangunan Center of Hope
yang jadi wadah mereka untuk berkiprah. Bahkan, usaha dikembangkan
dengan membuka paket perayaan ulang tahun bersama anak-anak ini yang
dikelola mereka sendiri.
"Kalau anak-anak yang memiliki
keterbatasan saja punya daya juang yang luar biasa, ini bisa jadi
inspirasi bagi anak-anak yang lain. Bangsa ini membutuhkan generasi muda
yang mau berjuang keras, tidak cengeng, dan tidak mudah menyerah,"
jelas Melly.
Keinginan mewujudkan anak-anak bangsa yang memiliki
daya juang berawal dari pengalaman Melly yang saat itu bekerja di
perusahaan swsta. Saat merekrut karyawan, dia merasa kesulitan menemukan
calon pekerja baru yang punya mental juang yang tangguh, mau berjuang
dari bawah.
Melly mengingat pengalamananya ketika mewawancari
pelamar lulusan universitas. Pelamar tersebut meminta gaji Rp 4 juta dan
fasilitas lainnya. Ketika Melly mengatakan bahwa di kantornya saat itu
gaji untuk karyawan baru hanya Rp 1,75 juta, pelamar tersebut justru
tertawa mengejek. "Dia tertawa dan bilang, tanpa kerja saja dia bisa
dapat Rp 2,5 juta dari mamanya tiap bulan. Di sinilah saya terhenyak,
anak-anak masa kini mulai tidak mau bersusah payah. Ini bukan salah
mereka, tapi salah orangtua, orang dewasa, dalam mendidik generasi
muda," kata Melly.
Terbersit dalam benak Melly untuk membuat
program yang membangun keluarga dan daya juang anak-anak. Lewat Rumah
Moral-lah Melly mewujdukan gagasannya. Dia menawarkan program lifeskills
untuk institusi yang tertarik. "Banyak yang menyarankan saya jadikan
Rumah Moral yayasan, supaya mudah untuk memberikan dana sosial
perusahaan. Tetapi saya tidak mau kalau program hanya memberikan dana
saja. Anak-anak harus diajar untuk berjuang mewujudkan impian mereka,"
kata Melly.
Rumah Moral memulai kiprahnya pada 2008 melalui
program pengadaan sepeda bagi siswa SMP tidak mampu di daerah Curug,
Tangerang, Banten. Awalnya Melly hendak mengajarkan lifeskills
bagi orangtua siswa yang miskin supaya bisa meningkatkan ekonomi
keluarga. Tetapi program itu tidak disambut baik. "Ternyata, orang-orang
miskin, bukan hanya lemah dari segi ekonomi. Mental mereka juga lemah
untuk memperbaiki nasib," ujar Melly.
Melly dan Ibu Tuti, kepala
SMPN di Curug yang siswanya kebanyakan dari kalangan tidak mampu, lalu
mengajak siswa untuk membuat jepitan rambut dari limbah. Anak-anak
justru antusias. Mereka membuat 24.000 jepitan rambut untuk 10 sepeda.
"Dalam dua tahun, siswa bisa mengumpulkan dana justru untuk 13 sepeda.
Anak-anak yang selama ini berjalan kaki jauh ke sekolah, akhirnya bisa
punya sepeda. Itu hasil kerja keras mereka," ujar Melly.
Anak-anak
dari keluarga tidak mampu tersebut belajar banyak dari pengalaman
berjuang mewujudkan impian memiliki sepeda. Bahkan, anak-anak tersebut
mengatakan bahwa sepeda yang mereka dapatkan bisa hilang, namun
pelajaran yang mereka dapatkan tidak akan hilang, berguna sepanjang
hidup. "Intinya bagi anak anak adalah bukan sepedanya saja, melainkan
mereka merasa terbuka matanya dan mendapat pembelajaran , bahwa hidup
itu harus kreatif dan inovatif. jika mental itu ada pada mereka, niscaya
mereka akan keluar dari kemiskinan," kata Melly.
Daya juang
hidup yang terbentuk dari mental juang dalam diri anak juga nampak pada
anak-anak penderita Kanker. Rumah Moral memberikan program lifeskills
bagi orang tua penderita kanker dengan membuat limbah garmen menjadi
bros dan jepitan rambut. Dana yang terkumpul untuk membeli 25 komputer
yang dapat digunakan anak-anak penderita kanker di RS Dharmais supaya
bisa bermain internet dan game.
Rumah Moral yang
digerakkan Melly bersama sukarelawan lainnya ini membuat program-program
kemanusiaan yang intinya menanamkan daya juang lewat pemberdayaan
anak-anak dengan program lifeskill-nya. Tujuan akhir dari semua program ini adalah hanya bermaksud mengembalikan hak anak yang kekurangan ini pada tempatnya.
Mereka
dengan segala kekurangannya tetap bisa berkarya dan seharusnya
orang-orang yang merasa dirinya normal perlu bercermin dengan mereka .
"Rumah Moral akan mengubah anak anak yang berkekurangan menjadi
mutiara bagi Bangsa Indonesia," ujar Melly.
Editor :
Rusdi Amral
Sumber : Kompas
0 komentar:
Posting Komentar